Di industri pertambangan akhir-akhir ini, masalah “governance”, atau tata kelola, utamanya “public governance” mencuat, seperti isu dugaan korupsi Rp301 triliun di pertambangan timah, juga masalah adanya logam emas palsu. Perlu kebijakan hilirisasi yang mulus dalam proses nilai tambah industri berbasis mineral, dari proses dan produk di sektor mineral menuju proses dan produk di sektor industri, yang nilai tambahnya semakin tinggi.
Demikian salah satu kesimpulan Diskusi dan Kuliah Umum yang berjudul Dunia Pertambangan Indonesia, di Jurusan Teknik Geologi ITB, Bandung, Jumat 31 Mei 2024, dengan pembicara Dr. R. Sukhyar, Dirjen Mineral dan Batubara 2013-2015, yang juga alumnus Teknik Geologi ITB1973-1978. Diskusi, secara daring dan luring tersebut, dibuka oleh Dr. Mirzam Abdurrachman, Ketua Program Pasca Sarjana Teknik Geologi ITB.
Dalam kesempatan itu, Sukhyar memaparkan proses produksi mineral, dari eksplorasi yang menghasilkan cadangan mineral, ke tahapan penambangan, lalu ke tahapan pengolahan yang menghasilkan konsentrat, kemudian masuk ke proses smelting yang menghasilkan logam, seperti logam besi, logam nikel, logam tembaga, logam aluminium dan lain-lain. Dari sini masuk ke proses semi fabrikasi, proses fabrikasi dan akhirnya menjadi barang jadi siap masuk pasar. Di tahapan smelting inilah terjadi peralihan dari sektor mineral menjadi sektor industri.
Di sinilah kerap muncul disharmoni tata kelola yang bisa berakibat kerugian negara, seperti penambangan ilegal, juga kerugian negara akibat penghitungan nilai tambah yang terlalu rendah. Harmonisasi kebijakan Industri dan Pertambangan yang lemah inilah, yang berakibat ada beberapa pejabat pemerintah pengelola mineral, harus berhadapan dengan aparat hukum. Oleh sebab itu, Sukhyar menyarankan kiranya pada tahapan inilah harmonisasi kebijakan dan tata kelola perlu diperkuat.
Sukhyar memaparkan sejarah pertambangan mineral logam di Indonesia, sejak Abad 16. Pada tahun 1643, Kerajaan Bolaang Mongondow sudah mulai mengekspor emas dari Sulawesi Utara. Pada Abad 16 itu juga, penambangan timah di Bangka dimulai. Perusahaan Belanda-VOC mulai membeli produk timah Bangka pada 1710, sedang pada tahun 1909 Raja Bolaang Mongondow menandatangani kontrak bagi hasil tambang emas dengan Ratu Belanda. Pada 1939, geologiwan Belanda, Jean Jacques Dozy, pertama kali mengeksplorasi dan menemukan gunung Ertsberg, di Papua yang sekarang menjadi tambang emas Tembagapura.
Di negara maju, perkembangan industri mineral didorong pada kebutuhan industri dalam negerinya (demand push) dan juga kebutuhan ekspor (demand pull). Sedang di negara berkembang, seperti Indonesia, kegiatan pertambangan mineralnya hanya dikaitkan dengan kebutuhan ekspor secara global (demand pull) sehingga nilainya sangat tergantung pada dinamika pasar global. Sukhyar menegaskan bahwa sejak berabad-abad Indonesia memposisikan diri sebagai pemasok bahan baku mineral dunia. Indonesia belum pernah mengambil poisi di depan, melainkan selalu “mengekor” pada kebutuhan mineral dunia. Setelah terbitnya UU No. 4 tahun 2009 Tentang Mineral dan Batubara, yang ia turut membidaninya, Indonesia mulai bergerak pada ekspor mineral bernilai tambah.
Tentu pada awalnya mendapat tantangan industri pertambangan, yang selama ini sudah nyaman dengan pola lama. Benar saja, implementasi UU 4/2009, mulai tahun 2015, berjalan lambat. Prosentase pembangunan smelter-smelter di dalam negeri, untuk mengolah mineral menjadi produk industri, masih kecil. Namun, bekat konsistensi Pemerintah lewat program hilirisasi industri mineral, maka akhirnya smelter-smelter tadi mulai berproduksi dan bisa membuat produk industri mineral dengan nilai tambah tinggi. Walaupun program hilirisasi ini belum selesai, tetap harus dilanjutkan. Sudah pasti, program hilirisasi industri mineral Indonesia mendapatkan tantangan Dunia.
World Trade Organization (WTO) memberi sanksi kepada Indonesia dengan alasan: ”No prohibitions or restrictions other than duties, taxes or other charges, whether made effective through quotas, export licenses or other measures, shall be instituted or made by any contracting party on the exportation of any product destined for the territory or another contracting party”. Negara-negara di Eropa dan negara negara kaya lainnya juga melayangkan protes kepada Indonesia berkaitan dengan larangan ekspor bijih nikel dari Indonesia. Juga mereka protes karena Indonesia membanjiri pasar Dunia dengan produk Nickel Pig Iron yang membuat pasar nikel dunia anjlog, di samping issue tentang “dirty nickel” yang menilai produksi nikel Indonesia tidak mengikuti aturan standar lingkungan yang baku.
Tentu sebagai negara berdaulat, Indonesia tidak perlu gentar menghadapi beragam protes Dunia tadi. Sudah saatnya nilai tambah sumber daya mineral Indonesia dinikmati sebesar besarnya oleh rakyat Indonesia sendiri, sesuai UUD 1945, Pasal 33. Apalagi bila dikaji bahwa nilai tambah Aluminium adalah 10 kali dari nilai bahan baku Bauksit, nilai tambah Stainless Steel 19 kali dari nilai bahan baku bijih nikelnya, belum lagi nanti bila nikel menjadi bahan baku baterai mobil listrik, dan nilai tambah Tin Chemical 10 kali dari nilai bahan baku bijih timahnya.
Sukhyar juga megaskan bahwa sudah saatnya Indonesia menjadi pemimpin, bukan pengekor, dalam pengembangan industri mineral Dunia. Yang utama di sini adalah penerapan teknologi dan inovasi di bidang industri mineral, sekaligus memanfaatkan 275 juta penduduk Indonesia sebagai pasar dalam negeri terlebih dahulu dan siap bersaing menerobos pasar global.
Di akhir acara Kuliah Umum, para Alumni Teknik Geologi GEA ITB Angkatan 1973 menyerahkan beasiswa bagi para mahasiswa Teknik Geologi ITB yang akan melaksanakan Kuliah Lapangan Geologi ITB 2024 di Kampus Lapangan Geologi Karang Sambung, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah.