Upaya penurunan penggunaan energi fosil, sekaligus mengurangi emisi karbon, dapat dilakukan pula lewat penerapan energi bio-arang, atau bio-charcoal yang dihasilkan dari beragam pasokan bahan baku biomassa. Dari padanya kemudian dapat diproduksi beragam turunnya, seperti bio-sintetis gas untuk menggantikan peran gas LPG.
Demikian kesimpulan Diskusi Center for Technology and Innovation Studies (CTIS), Rabu19 Juni 2024. Berbicara pada Diskusi berjudul “Smart City Decarbonization” adalah Co-Founder & CEO After Oil.id, Rifo Romello, dengan moderator Ketua Komite Kebencanaan CTIS, Dr. Idwan Soehardi yang juga mantan Deputi Menristek.
Rifo Romello mengawali paparannya dengan memperlihatkan data konsumi gas LPG di Indonesia yang terus meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2013, konsumsi gas LPG kita mencapai 5,6 juta ton, dan tahun 2023 sudah mencapai 8,7 juta ton. Di samping 80% LPG harus di impor, ini menyerap 56% subsidi energi pertahunnya. Gas LPG tadi juga mengemisikan gas CO2 yang berdampak pada perubahan iklim global.
Harus ada upaya mencari alternatif untuk mengurangi konsumsi gas LPG, mengurangi impor, yang berarti juga menghemat devisa kita.
Rifo menawarkan penggunaan bio-charcoal untuk mengganti penggunaan gas LPG dan bisa diproses lagi menjadi beragam produk seperti bio-sintetis gas.
Sebenarnya, unsur kimia energi fosil dan energi biomassa tidak lah terlalu berbeda. Komponen energi fosil terdiri dari Hidrogen (H) dan Karbon (C), sedang komponen energi biomasa terdiri dari H, C dan Oksigen (O).
Agar tidak terjadi kompetisi sumberdaya biomasa untuk pangan terhadap untuk energi, maka perlu dibuat aturan penggunaan lahannya. Lahan subur digunakan untuk produksi pangan, sedang lahan tidak subur dan lahan kritis dapat ditanami pepohonan untuk pasokan energi biomasa.
Oleh sebab itu, Uni Eropa sampai menetapkan 17 jenis biomasa yang dapat digunakan sebagai energi, dari sekam padi, limbah pohon sawit, limbah produk kehutanan hingga sampah perkotaan.
Dari pasokan beragam jenis biomasa tadi kemudian dapat diproduksi bio-charcoal atau bio-arang dalam bentuk pellet, yang memiliki panas hingga diatas 7000 kalori, untuk energi biomasa.
Rifo menegaskan bahwa sudah saatnya, usaha-usaha UMKM, juga warung-warung, rumah-rumah makan dan pedagang makanan keliling mulai mengalihkan penggunaan bahan bakarnya dari LPG 3 kg ke bio-arang. Ini akan menghemat biaya, sekaligus mengurangi impor LPG dan menghemat devisa.
Pada tahapan berikutnya, Rifo menawarkan pengolahan produk dari bio-arang menjadi bio-sintetis gas. Ini berarti, tabung-tabung gas bekas LPG tidak lagi diisi gas LPG namun bisa diisi oleh bio-sintetis gas berbahan baku biomasa. Kembali lagi, devisa untuk impor gas LPG bisa dihemat.
Dari produk bio-sintetis gas tadi, bisa diolah lebih lanjut lagi menjadi bio-methanol, bio-gasoline, green diesel dan bio-jet. Kemudian, turunannya lagi bisa menghasilkan Reformed Methanol Fuel Cell (RMFC) bagi gas hidrogen untuk menggerakkan mobil listrik. Juga bisa menghasilkan Reformed Dimethyl Ether Fuel Cell (RDMEFC), suatu bentuk gas hidrogen untuk menggerakan kendaraan listrik dan lebih mudah diangkut dari satu lokasi ke lokasi lainnya.
Karya Rifo Romello dan kawan-kawan telah menarik perhatian lembaga lembaga riset di luar negeri dan mendapatkan penghargaan Juara 1 Climate Impact Innovation Challenge yang digelar Temasek Foundation, Singapura. Juga masuk Top 5 The World’s Most Innovative Changemaker dari Standford University, AS.
Sumber: https://forestinsights.id/bio-arang-bio-sintetis-gas-dan-turunannya-menuju-energi-hijau-di-indonesia/