Pabrik-pabrik industri panel surya baru bermunculan di tanah air seiring dengan kebutuhan untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga surya. Ke depan, pabrik-pabrik itu tidak saja akan memasok untuk kebutuhan dalam negeria, tetapi juga untuk kebutuhan internasional.
Itulah kesimpulan Diskusi Center for Technology & Innovation Studies (CTIS), Rabu, 16 Oktober 2024. Berbicara dalam diskusi yang mengambil topik “Menangkap Peluang Membangun Industri Supply Chain Modul Surya di Indonesia adalah Dr Arya Rezavidi, Alumus Universitas Delaware AS, dan Peneliti Senior BRIN Dr Achiar Oemry. Diskusi dipandu oleh Dr Ashwin Sasongko Ketua Komite Teknologi Elektronika & Informatika CTIS.
Arya menegaskan bahwa sebagai negara di wilayah katulistiwa, Indonesia memiliki potensi teknis energi surya sebesar antara 3 – 20 Terra Watt (TW). Target transisi energi Indonesia hingga tahun 2060 cukup ambisius, dengan kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sebesar 421 Giga Watt (GW), akan menjadikannya sebagai pembangkit yang mendominasi dibandingkan dengan jenis pembangkit Energi Baru Terbarukan (EBT) lainnya.
Kenyataannya, hingga akhir 2023, total kapasitas terpasang PLTS baru mencapai 600 MW saja. Mengingat Pemerintah telah mematok target 3,6 Giga Watt untuk PLTS Atap pada tahun 2025 dan akan ada tambahan lagi 4.7 Giga Watt PLTS hingga tahun 2030, maka ini memungkinkan tumbuhnya industri wafer, sel surya dan panel surya di tanah air. ”Inilah kesempatan bagi Indonesia untuk mengembangkan industri modul sel surya, mengingat pasarnya sudah tersedia, sedang mayoritas industri modul sel surya saat ini dikuasai Tiongkok,” kata Arya.