Kalau memakai filosofi Almarhum Professor BJ Habibie tentang pengembangan industri:” Berawal di Hilir dan Berakhir di Hulu”, maka saat ini sudah muncul industri hilirnya, yaitu pabrik pabrik panel surya di tanah air. Terdapat 14 Pabrik Pembuat Modul Surya dengan kapasitas 550 Mega Watt/Tahun dan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) hingga 55%. Di luar itu masih ada 10 pabrik modul surya lainnya yang sedang dibangun, totalnya mampu memproduksi tambahan panel panel surya hingga 11 Giga Watt. Selain untuk memasok kebutuhan dalam negeri, produk tadi juga diproyeksikan akan menyasar ekspor ke luar negeri.
Konsep “Photovoltaic Effect” yang digagas Albert Einstein, pada Abad 20, diaplikasikan pada metal, mengakibatkan foton di metal yang tadinya pasif menjadi elektron aktif yang bergerak sehingga menghasilkan energi. Dengan menggunakan wafer lapisan silika yang dibuat dari mineral kwarsa (SiO2), memiliki tingkat kemurnian hingga 99.99999%, maka lapisan silika tadi akan menerima sentuhan sinar matahari, guna menghasilkan elektron yang bergerak cepat dan semakin cepat, hingga memproduksi energi listrik.
Dengan desain wafer lapisan silika yang semakin presisi maka sinar matahari yang masuk ke lapisan silika tidak semua akan langsung terpantul keluar, namun bisa terpantul-pantul didalam lapisan silika tadi, menyebabkan energi listrik yang dihasilkan bisa semakin besar. Inilah yang dimaksud dengan tahapan industri dari hilir ke hulu, dari industri panel surya menuju ke industri sel surya silika kristalin hingga ke industri pembuat wafer untuk sel surya tadi.
Berbagai kegiatan riset dan pengembangan untuk menghasilkan sel surya yang semakin effisien dilakukan disini, termasuk menerapkan teknologi konvensional Back Surface Field (BSF), juga teknologi Tunnel Oxide Passivated Contact (TOPCON), hingga penerapan teknologi Solar Passivated Emitter & Rear Cell (PERC). Kesemuanya tadi akan menghasilkan panel surya yang semakin effisien dan mampu menghasilkan energi listrik semakin besar.
Untuk masuk ke industri lebih ke hulu, seperti pemurnian Silika hingga 99.99999%, nampaknya perlu waktu karena memerlukan modal besar. Ahli modul surya Dr Achiar Oemry menyatakan bahwa bahan baku untuk membuat sel surya cukup dari pasir kwarsa (SiO2) saja. Namun ternyata pasir kwarsa di Indonesia bercampur dengan beragam mineral logam yang juga memiliki nilai ekonomis tinggi, seperti mineral kwarsa di tambang timah. Itulah sebabnya, pemurniannya untuk mencapai kadar Silika 99.9999% memerlukan biaya tinggi.
Ia mengkaji pasir kwarsa di 28 lokasi di Indonesia dan menyampaikan bahwa pasir kwarsa di wilayah pantai utara Jawa Timur seperti di Tuban, Rembang serta di Bahorok Sumatera Utara berpotensi untuk dimurnikan menjadi silika 99.99999%. Arya Rezavidi menegaskan adanya persaingan dagang antara Tiongkok dan Amerika Serikat saat ini menjadi peluang bagi Indonesia untuk membangun industri sel surya berpotensi ekspor.
Pengembangan industri rantai pasok modul surya dan industri semikonduktor di Indonesia dapat menjadi wahana penguasaan teknologi semikonduktor secara umum dan teknologi sel surya secara khusus. Untuk itulah maka perlu adanya kerangka kebijakan dan regulasi yang mendukung agar mobilisasi investasi rantai pasok industri modul surya dan semikonduktor bisa terwujud. Riset dan inovasi teknologi perlu dilakukan dan diterapkan agar terwujud industri semi konduktor, khususnya industri energi surya di tanah air.
Kebutuhan semikonduktor dunia diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan makin banyaknya peralatan listrik (alat komunikasi, peralatan rumah tangga, kendaraan listrik, system kelistrikan cerdas, peralatan kedokteran, dll.) dan juga makin berkembangnya teknologi Artifical Intelligence. “Sudah pasti, kesemuanya membutuhkan pasokan sel surya yang banyak,” pungkas Arya Rezavildi.
Sumber Artikel berjudul “CTIS Bahas Peluang Pembangunan Rantai Pasok Industri Modul Surya di Indonesia, Ada Peningkatan Kebutuhan”, selengkapnya dengan link: https://seputarcibubur.pikiran-rakyat.com/teknologi/pr-1788687097/ctis-bahas-peluang-pembangunan-rantai-pasok-industri-modul-surya-di-indonesia-ada-peningkatan-kebutuhan