El Nino atau suatu gejala penyimpangan kondisi laut yang ditandai dengan meningkatnya suhu permukaan laut (sea surface temperature-SST) di samudra Pasifik sekitar equator (Equatorial Pacific) khususnya di bagian tengah dan timur tengah menimbulkan polemik pada dunia termasuk Indonesia. Menurut pakar geopolitik Suryo AB, gejala itu bisa menimbulkan Perang Dunia III yang lebih disebabkan pada perebutan SDA.
Ditemui Maritimnews.com di kantornya daerah Kebayoran Baru, Jakarta, beberapa waktu lalu, Suryo yang sehabis kembali dari Eropa dalam acara pembahasan perubahan iklim internasional, menerangkan gejala El Nino tidak bisa dianggap remeh.
“Kalau tidak cepat diantisipasi bisa menimbulkan Perang Dunia III, itu secara analisis geopolitiknya. Lalu pertanyaannya apakah kita (Indonesia-red) sudah siap,” tegas Suryo.
Dosen jurusan Hubungan Internasional Universitas Nasional (Unas) itu membantah bila El Nino dapat berdampak pada perbaikan ekonomi salah satunya meningkatnya produksi perikanan. Justru sebaliknya, El Nino dapat meneybabkan ikan di laut Indonesia beralih ke daerah lain.
“Lho kalau di laut itu panas sudah pasti ikan akan beralih tempat. Diperkirakan banyak akan ke daerah Amerika Latin,” tandasnya.
Akibat gejala-gejala tersebut yang menyebabkan perubahan iklim dan berdampak pada perubahan social, politik dan ekonomi. Maka tidak heran jika negara-negara maju berlomba-lomba mencari daerah baru untuk cadangan SDA dan kebutuhannya.
“Kita bisa lihat konflik Laut China Selatan (LCS), itu kan salah satu gejala. Di negara-negara maju lainnya pun sudah siap-siap juga untuk mengamankan ekonominya,” ulasnya.
Terlepas dari polemik internasional itu, Suryo juga tidak mau larut dalam hiruk pikuk tersebut. Dirinya lebih melihat bagaimana Indonesia saat ini dalam menghadapi segala kemungkinan tersebut. Pasalnya, Suryo menilai pemerintah tidak terlalu fokus dalam urusan seperti itu.
Pemerintah melalui Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Andi Eka Sakya pada Juli 2015 lalu mengatakan panen ikan dan garam akan berpotensi meningkat saat El Nino tiba.
“Karena ada proses pendinginan di lautan Indonesia, maka akan terjadi penumbuhan klorofil di bagian barat Sumatera dan bagian selatan Jawa. Hal ini akan membuat produksi panen ikan berlimpah,” kata Andi saat konferensi pers di gedung BMKG, Jakarta, Kamis (30/7/15) lalu.
Argumen itu yang kiranya dirujuk oleh pemerintah dalam hal ini Menko Maritim saat itu Indroyono Soesilo. Dengan yakin Indroyono menyatakan perikanan nasional akan surplus selama badai itu berlangsung.
Pusat prakiraan iklim Amerika (Climate Prediction Center) mencatat bahwa sejak tahun 1950, telah terjadi setidaknya 22 kali fenomena El-Nino, 6 kejadian di antaranya berlangsung dengan intensitas kuat yaitu 1957/1958, 1965/1966, 1972/1973, 1982/1983, 1987/1988 dan 1997/1998. Intensitas El-Nino secara numerik ditentukan berdasarkan besarnya penyimpangan suhu permukaan laut di samudra pasifik equator bagian tengah. Jika menghangat lebih dari 1.5 oC, maka El-Nino dikategorikan kuat.
Sebagian besar kejadian-kejadian El-Nino itu, mulai berlangsung pada akhir musim hujan atau awal hingga pertengahan musim kemarau yaitu Bulan Mei, Juni dan Juli. El-nino tahun 1982/1983 dan tahun 1997/1998 adalah dua kejadian terhebat yang pernah terjadi di era modern dengan dampak yang dirasakan secara global.
Disebut berdampak global karena pengaruhnya melanda banyak kawasan di dunia. Amerika dan Eropa misalnya, mengalami peningkatan curah hujan sehingga memicu bencana banjir besar, sedangkan Indonesia, India, Australia, Afrika mengalami pengurangan curah hujan yang menyebabkan kemarau panjang.
Sumber: https://maritimnews.com/2016/01/pengamat-el-nino-dapat-picu-perang-dunia-iii/